Dasar konsep
MODUL PRESISI
Konsep Presisi pada dasarnya berangkat dari praksis pendidikan kontekstual berbasis proyek yang dilakukan oleh komunitas kolektif penyelenggara pendidikan alternatif. Model pendidikan kontekstual bertumpu pada paradigma anak sebagai subyek yang berkembang bersama dengan dunianya. Kondisi dan perkembangan lingkungan merupakan dunia yang memengaruhi anak, sekaligus anak merupakan subyek yang dapat menentukan atau memengaruhi lingkungannya. Paradigma tersebut berangkat dari gagasan Ki Hajar Dewantara dan Prof. N. Driyarkara tentang pendidikan.
Bagi Ki Hadjar Dewantara pendidikan merupakan “tuntunan segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.” Pandangan Ki Hadjar Dewantara tersebut mengandung sekurangnya tiga substansi pengertian. Pertama, pendidikan sudah semestinya dibangun di atas paradigma anak merdeka, yaitu anak (siswa) yang sesuai dengan kodratnya memiliki akal-budi yang menjadikannya mahkluk berkehendak bebas. Di atas paradigma itu tugas pendidikan adalah menuntun siswa untuk berkembang dengan kemampuannya menjadi manusia merdeka. Manusia merdeka adalah manusia yang mampu berdiri di atas kakinya sendiri, manusia yang tidak bergantung pada orang lain. Kedua, pendidikan bertugas juga menghantarkan siswa untuk menyadari dan memaknai dirinya sebagai mahkluk yang berada bersama dengan dunianya. Siswa adalah mahkluk individual, anggota masyarakat, yang hidup di dunia bersama dengan sesamanya. Kehidupan bersama di dunia itu merupakan konteks realitas yang harus dihadapi siswa. Ketiga, dalam konteks itulah siswa mengembangkan kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan dirinya sebagai individu sekaligus sebagai mahkluk sosial. Dengan cara itu siswa senantiasa bergerak mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.
Praksis model Presisi juga didasarkan pada mewujudkan gagasan Driyarkara tentang pendidikan. Menurut Driyarkara pendidikan merupakan hominisasi sekaligus humanisasi. Hominisasi adalah proses manusia membangunkan kesadaran dirinya sebagai pribadi yang memiliki kehendak untuk menentukan sikap dan tindakannya. Pendidikan sebagai hominisasi adalah pendidikan menuju pribadi yang mandiri. Tujuan pendidikan tidak hanya untuk mengubah, memembentuk diri sendiri, tetapi juga membangun lingkungannya. Karena itu Driyarkara menegaskan pengertian pendidikan sebagai humanisasi, memanusiakan sesama, lingkungannya.
Pemikiran kedua filsuf yang pedagog tersebut menjadi cara pandang bagi para pelaksana Presisi dalam mengolah dan mengembangkan modul pendidikan kontekstual, yang untuk selanjutnya disebut Modul Presisi. Modul Presisi disusun bukan sebagai petunjuk teknis (tutorial)pelaksanaan kegiatan pembelajaran, melainkan merupakan pedoman praksis pembelajaranyang menempatkan siswa sebagai subyek, pelaku utama, perancang karya berbasispengetahuan yang kontekstual dengan lingkungan tempatnya belajar, dalam hal ini adalahwilayah adminsitratif yang menjadi zona keberadaan sekolah.

Pendekatan seni-budaya dalam konteks pendidikan karakter sesungguhnya merupakan amanat Undang-Undang nomor 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Pasal 7 Undang-Undang tersebut menyatakan bahwa, “Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah melakukan pengarusutamaan Kebudayaan melalui pendidikan untuk mencapai tujuan Pemajuan Kebudayaan.” Menyusul lahirnya Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan, dalam beberapa waktu kemudian Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan merancang kebijakaan nasiolan yang mengintegrasikan pelaksanaan pemajuan kebudayaan dengan penguatan karakter siswa melalui seni-budaya. Direktorat Jenderal Kebudayaan, sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya merancang langkah-langkah untuk mewujudnyatakan kebijakan tersebut ke dalam program-program strategis. Beberapa program di dalam konteks itu sudah dilakukan seperti Program Seniman Mengajar, Program Belajar Bersama Maestro, mau pun beberapa program lainnya.