Silahkan membaca bacaan yang ada di tab Materials
Ki Hajar Dewantara menjelaskan pendidikan merupakan bagian dari cara manusia memenuhi tugas untuk berkembang sesuai kodratnya. Pandangan tersebut menegaskan tentang tiga persoalan dasar sekitar relasi manusia dan pendidkan. Ketiganya adalah tentang hakikat atau kodrat manusia, tentang pendidikan sebagai bagian dari cara manusia mengembangkan diri, dan tentang tujuan manusia mengembangkan diri. Banyak mazhab yang menawarkan pendekatan untuk memecahkan persoalan-persoalan mendasar terkait hubungan manusia dan pendidkan. Salah satunya adalah mazhab Humanisme yang berkembang di abad Renaisans (masa peralihan antara abad pertengahan ke abad modern). Humanisme menempatkan manusia sebagai subyek segala sesuatu. Untuk mengenal lebih dekat pandangan kedua pedagog tersebut ada baiknya sekilas melihat lintasan sejarah perekembangan pemikiran Humanisme.
Pandangan Humanisme dalam pendidikan sudah berkembang dari masa Yunani Klasik. Di masa itu berkembang gerakan pendidikan (Paideia) dengan visi untuk menciptakan manusia yang ideal. Gerakan tersebut ditandai dengan penyelenggaraan sistem pendidikan untuk orang-orang merdeka (artes liberales). Frasa “artes liberales” diturunkan dari kata bahasa Latin, “artes” yang berarti “bidang study” dan “liberales” yang berarti “orang-orang merdeka”. Tujuan dari sistem pendidikan orang-orang merdeka adalah untuk mencapai keutamaan (arete) melalui berbagai bidang pengajaran. Kebutuhan akan pendidikan sebagai jalan menuju keutamaan berkembang seiring dengan kemajuan Arhena sebagai pusat peradaban Yunani di masa kepemimpinan Perikles. Salah satu wujud kemajuan peradaban di bidang politik adalah penerapan demokrasi atau sistem pemungutan suara terbanyak baik dalam menentukan keputusan publik maupun menentukan wakil pimpinan politik.
Kebutuhan untuk dapat ikut ambil bagian dalam bidang politik merupakan konteks yang menentukan konsepsi tentang keutamaan sebagai kemampuan untuk berdebat, berbicara di depan umum secara baik dan meyakinkan. Hal itu berkaitan dengan relativisme pandangan para Sofis yang menyatakan bahwa keyakinan sesorang tidak lebih benar dari keyakinan orang lain. Keyakinan akan kebenaran berpusat pada diri seseorang sebagai bagian dari kelompok masyarakat. Karena itu setiap orang berusaha meningkatkan kemampuan berbicara secara baik untuk meyakinkan publik tentang pandangannya. Retorika, tata bahasa ilmu yang utama yang dikembangkan dalam pendidikan. Protagoras adalah filsuf (kaum Sofis), orator ulung, pengajar retorika yang berpengaruh di masa itu.
Selain konsepsi politis yang dikembangkan kaum Sofis konsepsi keutamaan yang lain yang berkembang di masa Yunani Klasik adalah pandangan akademik tentang keutamaan jiwa. Jiwa adalah jati diri manusia. Keutamaan jiwa merupakan suatu kondisi kebahagiaan yang tercipta dari kemampuan seseorang merawat jiwanya dengan menyelaraskan jiwa dan badan. Demikianlah pandangan Plato. Karena itu bagi Plato pendidikan adalah perkara merawat jiwa manusia. Mendidik berarti tindakan merawat jiwa untuk mencapai kebahagiaan.
Setelah lama tenggelam dalam kegelapan pada masa abad Pertengahan, paham humanisme kembali bangkit di abad Renaisans. Renaisans dibangun dari gerakan kembali ke humanisme Yunani Klasik yang menempatkan manusia sebagai pusat tolok ukur segala sesuatu. Hakikat manusia adalah individu sebagai subyek, bukan bagian dari komune. Tradisi intelektual Renaisans ditandai dengan ciri rasionalisme yang menyatakan setiap kebenaran berpusat pada akal dan penggunaan akal bergantung pada setiap individu sebagai subyek. Akal pikirlah yang menentukan keberadaan, jati diri seseorang. Rene Descartes adalah filsuf masa Renaisanse yang mewariskan pandangan rasional yang mengawali setiap telaah segala sesuatu dengan meragukan kebenarannya. Cara pandang ini berkebalikan dengan pandangan para filsuf abad pertengahan, termasuk juga pandangan Gereja pada masa itu, yang menganjurkan supaya mengawali setiap telaah sesuatu dengan keyakinan.
Di bidang pendidikan kaum humanis di masa Renaisans mendirkan sekolah yang mengajarkan tata bahasa, sastra, retorika, dan filsafat moral. Tujuannya supaya setiap warga negara memiliki kemampuan berbicara, menulis dan hidup dalam keutamaan moral sehingga dapat berperan mengambil bagian dalam kehidupan sosial di komunitasnya. Kaum humanis percaya bahwa tujuan kebahagiaan dan kesempurnaan jiwa sesudah kematian dapat dicapai melalui pendidikan. Di masa Renaisans, abad ke 16, pandangan humanisme dalam pendidikan seperti itu menyebar pesat ke seluruh Eropa.
Tradisi ntelektual mashab humanisme itu kiranya yang memengaruhi cara pandang Ki Hajar Dewantara dan Driyarkara dalam melihat persoalan pendidikan.Tulisan berikut merupakan upaya untuk memahami pandangan Ki Hajar Dewantara dan N. Driyarkara tentang pendidikan dalam kerangka pengembangan model pendidikan kontekstual berbasis proyek. Dua putra terbaik bangsa yang berbeda latar belakang tersebut sama-sama mengabdikan pemikirannya untuk menjawab persoalan dasar pendidikan. Meskipun pandangan Driyarkara lebih ke arah pemahaman pendidikan teoritik dan sementara Ki Hajar Dewantara lebih pada pendidikan praktik yang didasarkan praksis pengalamannya namun esensinya pandagan keduanya saling menguatkan dalam melihat pesoalan pendidikan. Keduanya memandang pendidikan sebagai suatu cara menjawab persoalan dasar manusia dalam menjalankan tugas kodratiahnya. Pandangannya yang mendasar dan mendalam merupakan paradigma pendidikan yang kontekstual, yaitu pendidikan yang dapat menjadi cara siswa mengembangkannya sebagai pribadi, siapap pun, dimana pun.
Siswa Sebagai Subyek
Menurut Ki Hadjar Dewantara pendidikan adalah “tuntunan segala kodrat yang ada pada anak, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya”. Pandangan itu menegaskan bahwa setiap pendidikan didasarkan pada pemahaman tentang “segala kodrat yang ada pada anak (siswa)”. Ki Hajar Dewantara memperkenalkan kodrat anak dengan menggunakan pendekatan “teori konvergensi”. Teori ini dimaksudkan untuk mengintegrasikan kedua pendekatan yang menurut Ki Hajar tidak harus dimutlakkan kebenarannya. Teori pertama adalah pendekatan yang memperkenalkan kodrat anak manusia sebagai kertas kosong (tabularasa). Dalam teori ini tugas pendidikan adalah mengisi kertas kosong dengan pengetahuan yang diinginkan pendidik. Teori kedua disebut Ki Hajar sebagai teori negatif, yaitu, teori yang menyatakan kodrat anak manusia itu ibarat kertas yang sudah terisi penuh dengan tulisan. Tugas pendidikan hanya mengawasi, menjaga jangan sampai ada pengaruh-pengaruh yang tidak diinginkan memengaruhi isi tulisan.
Dengan teori konvergensi Ki Hajar memahami kodrat anak manusia sebagai kertas yang sudah berisi dengan tulisan yang samar-samar dan belum jelas maksudnya. Pandangan ini dapat disandingkan dengan pandangan Driyarkara tentang manusia sebagai mahkluk sempurna yang harus menyempurna.Karena itu tugas pendidikan adalah menuntun anak untuk mempertegas dan memperjelas “tulisan” di atas kertas supaya bisa dibaca. Ki Hajar menjelaskan pendekatan teori konvergensi tentang “kertas bertuliskan tulisan samar” dengan membagi watak manusia menjadi dua bagian, yaitu bagian yang disebut intelligibel dan bagian biologis. Bagian intelligibel berhubungan dengan kemampuan kognitif atau kemampuan berpikir menyerap pengetahuan. Intelligibel merupakan bagian watak yang dapat berubah. Perubahannya bergantung pada pengaruh lingkungan, termasuk pendidikan.
Bagian kedua disebut bagian biologis yaitu bagian yang berhubungan dengan rasa, seperti rasa takut, cemas, gelisah, tidak percaya diri, putus asa, senang, gembira, dan sebagainya. Kemampuan biologis merupakan bagian yang tidak dapat berubah. Pendidikan tidak akan menghapus atau tidak dapat meniadakan bagian ini, tetapi pendidikan menuntun anak manusia untuk dapat mengatasi, mengatur atau mengendalikan rasa perasaannya. Dalam taksonomi ranah pendidikan bagian biologis yang dimaksud Ki Hajar termasuk di ranah afektif atau ranah emosi, yaitu ranah perkembangan rasa percaya diri dan sensibilitas atau kepekaan rasa terhadap kondisi di sekitar.
“Budi pekerti” merupakan kemampuan kodratiah siswa yang merupakan watak pada bagian biologis yang menentukan karakter. “Budi pekerti” adalah kekuatan jiwa manusia yang menjelma menjadi energi yang menggerakkan kehendak untuk mengambi keputusan, kekuatan yang menggerakkan untuk melakukan tindakan. Kekuatan “budi” adalah kekuatan kohesif yang berupa kesatuan kemampuan pikiran, perasaan dan kehendak. Sedangkan “pekerti” yang dimaksud Ki Hajar adalah tindakan, yaitu energi atau daya yang membuat manusia bertindak melakukan apa yang dikehendaki, bertindak memerintah diri sendiri. Dalam pandangan Ki Hajar Dewantara, dengan adanya “budi pekerti” itu maka setiap siswa adalah “manusia merdeka”, yaitu manusia yang dapat memerintah diri sendiri.
Driyarkara menyebutnya sebagai manusia yang memiliki “ke-diri-an” atau berkepribadian. “Manusia merdeka” dalam pandangan Driyarkara adalah mahluk yang berakal budi (animal rationale). Pandangan filosofis Driyarkara tentang akal budi tidak jauh berbeda dengan Ki Hajar Dewantara. Akal budi adalah kemampuan jiwa, kemampuan yang bersifat rohani atau tidak terlihat namun menentukan keberadaan atau jatidiri manusia. Akal budi adalah kesadaran yaitu satunya kemampuan akal, rasa, karsa, dan kehendak. Dengan kesadarannya manusia mampu memikirkan, memahami, merasakan, berempati, berkehendak, dan bertindak. Kesadaran merupakan kodrat kesempurnaan manusia yang menjadikan manusia mampu melakukan refleksi, mengambil jarak dengan pengalamannya untuk mengenali dirinya sendiri, “memiliki dirinya sendiri, seolah-olah dirinya berada di tangannya”. Kesadaran adalah kemampuan yang menuntun siswa sebagai subyek yang dapat memerintah dirinya sendiri dan dapat menentukan pilihan.
Bagi Ki Hajar Dewantara setiap pemangku kepentingan pendidkan anak, baik guru, kepala sekolah, orang tua, maupun orang dewasa lain, semestinya memahami secara baik tentang kesempurnaan kodrat anak sebagai subyek berkesadaran. Menurut Ki Hajar Dewantara pendidik itu ibarat petani. Petani yang baik mengenal dengan baik setiap benih tanaman yang akan ditanam dan paham bagaimana harus memperlakukan benih supaya bisa tumbuh berkembang dan berbuah dengan baik. Hanya dengan menjadi seperti petani tersebut, maka setiap pendidk dapat bersikap dan bertindak secara tepat untuk menempatkan siswa sebagai subyek dalam ekosistem pendidkan. Guru dan para pihak pemangku kepentingan pendidikan pun mampu mengambil peran sebagai penuntun perkembangan jiwa anak.
Siswa Sebagai Persona
Seperti sudah disinggung sebelumnya, bahwa kodrat manusia terdiri dari badan selain jiwa. Jiwa dengan kemampuan akal, rasa, dan karsa adalah sesuatu dalam diri manusia yang bersifat rohani karena keberadaannya tidak tampak sebagai zat atau materi. Sedangkan badan bersifat jasmani karena substansinya berupa materi yang bisa dilihat, dipegang, dan bisa lebur sebagaimana mahkluk lain seperti binatang. Tapi dalam diri manusia ada kesatuan tidak terpisahkan antara jiwa dan badan. Hubugan jiwa dan badan tidak seperti hubungan antara air dengan cawan. Cawan sebagai wadah sudah terbentuk terlebih dahulu, sehingga air menyesuaikan bentuk cawan. Jiwa bukan isi dan badan bukan wadah. Justru sebaliknya, jiwa, seperti disinggung pada bagian sebelumnya, adalah kemampuan kerohanian seseorang berupa kesadaran yang terdiri dari kesatuan akal, rasa, dan karsa, Sifat kerohanian kesadaran dapat dikenali melalui sikap dan tindakan yang bersifat badaniah. Satunya kesadaran dan tindakan itu menunjukkan bahwa subyek memiliki kepribadian..
Kepribadian merupakan karakter khas setiap orang atau yang disebut persona. Manusia disebut sebagai persona karena hanya manusia yang dapat dengan kesadarannya menyebut dirinya sebagai “Aku”. Karena itu setiap orang adalah “Aku”, subyek yang memiliki kekhasan yang disebut kepribadian. Hubungan seseorang dengan orang lain adalah hubungan antar persona, hubungan antara “Aku” dengan “Aku” lainnya. Komunikasi dan tindakan seseorang pada orang lain adalah juga wujud hubungan antara sesama subyek. Meminjam pandangan Max Scheler, Driyarkara menjelaskan bahwa persona samasekali bukan obyek apalagi alat. “Persona adalah subyek yang tercinta dan hanya karena cinta dapat dan harus kita sambut”. Hubungan antar sesama manusia dengan demikian merupakan hubungan antar persona yang didasarkan atas cinta. Cinta yang dimaksud Driyarkara bukan dalam arti romantis, melainkan dalam pengertian kebutuhan utama manusia untuk saling membuka diri dan menerima. Pada batas tertentu cinta seperti itu tampak mewujud dalam penyerahan diri. Untuk pengertian cinta yang dimaksud, Dryarkara menyebutkan contoh cinta seorang ibu kepada anaknya.
Dalam pengertian itu kepribadian setiap persona ditentukan oleh kesadaran seorang “Aku” dalam memandang kehadiran “Aku” lainnya. Dalam pengalaman keseharian kepribadian termanifestasi ke dalam tindakan. Tindakan tidak mengubah hakikat manusia, tetapi tindakan menentukan bagaimana “Aku” menghormati nilai-nilai persona saat berhubungan dengan “Aku” lainnya. Dalam pandangan Ki Hajar Dewantara, nilai-nilai persona adalah sifat-sifat keutamaan yang menunjukkan martabat manusia. Begitu muliannya nilai-nilai keutamaan persona sehingga Driyarkara tegas mengatakan bahwa mendekati persona tanpa keutamaan cinta, terlebih menjadikan persona hanya sebagai obyek atau alat merupakan pemerkosaan atas martabat manusia.
Pengenalan guru, dan pemangku kepentingan pendidikan, tentang siswa sebagai persona dengan kepribadian masing-masing merupakan satu hal utama untuk dipahami dalam rangka menempatkan siswa sebagai subyek, pelaku utama pendidikan. Hal lain yang penting dipahami guru adalah bahwa pendidikan bukan saja suatu kegiatan memperluas pengetahuan di ranah kognisitf dan meningkatkan keterampilan kreatif, melainkan, dan utama, juga merupakan penguatan kesadaran siswa sebagai persona yang berhubungan dengan temannya, dengan guru, nara sumber dan pemangku kepentingan lain, dan masyarakat. Dengan kata lain tugas pendidik atau guru adalah menuntun perkembangan kemampuan kognitif, afektif, dan menguatkan perkembangan karakter pribadi siswa. Memberikan peluang refleksi bagi siswa untuk mengkritisi caranya sendiri dalam berelasi dengan sesama di sekitarnya merupakan bagian dari cara mendewasakan kesadaran siswa dan meningkatkan kecerdasan emosional siswa
Persona Yang Membudaya Bersama Dengan Dunianya
Manusia ada bersama dengan dunianya. Driyarkara menjelaskan bahwa keberadaan manusia sebagai persona menjadi nyata dalam hubungannya dengan dunianya. Dunia yang ada bersama manusia adalah dunia materiil, dunia konkrit, nyata yang terdiri dari sesama manusia dan alam semesta seisinya. Keberadaan manusia bersama dengan dunianya, tidak seperti binatang yang tergantung pada alam Di bagian sebelumnya sudah disinggung penjelasan tentang kesadaran sebagai dasar hubungan antar persona. Selain kesadaran Driyarkara lebih mendalam menjelaskan bahwa hubungan antar persona juga digerakkan oleh cinta. Cinta adalah kemampuan kerohanian manusia selain akal, rasa, dan karsa. Cintalah yang menggerakkan kesadaran persona untuk membuka diri pada kehadiran persona lain. Cinta yang terdalam dari manusia adala adalah kebutuhan seseorang untuk membuka diri dan menyerahkan diri pada orang lain, bukan untuk memiliki. Hubungan antar persona yang didasarkan atas cinta adalah hubungan saling memberi, tidak saling megambil atau memiliki. Seseorang yang memaknai cinta adalah kebutuhan untuk memiliki sama dengan seseorang yang memaknai cinta secara materiil. Cinta seolah merupakan benda. Untuk menjelaskan konsepsi itu Driyarkara menjelaskan dengan membandingkan seorang yang memiliki roti. Roti adalah benda, materi yang akan habis kalau dibagi-bagikan.
Tidak demikian halnya dengan cinta sebagai kemampuan kerohanian. Cinta tidak akan habis meskipun dibagi-bagikan. Semakin cinta dibagi ke banyak orang, maka orang tersebut akan mendapatkan cinta yang lebih banyak. Cinta seorang ibu tidak akan habis, sekalipun diberikan kepada berapa pun anaknya. Dalam kehidupan sehari-hari dapat juga dilihat cinta pada orang-orang yang membaktikan hidupnya untuk kemanusiaan. Gerakan relawan kemanusiaan atau kepedulian orang atau kelompok orang pada penderitaan orang lain di suatu tempat merupakan contoh lain dari hubungan antar persona yang dgerakkan oleh cinta. Guru yang menyapa siswa dengan cinta akan mendapatkan semakin banyak cinta dari siswanya.
Sedangkan megenai hubungan persona degan dunia alam raya menurut Driyarkara didasarkan pada kebutuhan untuk “memenangkan dan mengatur” alam. Cara manusia untuk “memenangkan dan mengatur” merupakan cara khas subyek yang menyadari dunia alam raya sebagai bagian dari keberadaannya. Manusia membutuhkan alam raya untuk kehidupannya, tetapi manusia juga membutuhkan menjaga alam raya untuk menjaga keberlanjutannya bersama alam. “Memenangkan dan mengatur” merupakan konsepsi tindakan manusia dalam memenuhi kebutuhannya dengan cara berkembang bersama. Untuk memenuhi kebutuhannya dalam memanfaatkan alam, manusia tidak bergerak atas dorongan instingtual semata, tetapi mampu mempertimbangkan, mengambil keputusan dan menginisiasi tindakan sesuai dengan kebutuhannya.
Untuk memenuhi kebutuhan makan manusia harus memenangkan alam karena tidak akan begitu saja kebutuhannya terpenuhi dari alam. Alam menyediakan bahan mentah.Manusia harus memenangkan alam dengan cara menanam benih padi, kemudian memasaknya menjadi nasi. Selain memenangkan alam dengan mengenali kekayaan yang disediakan alam, manusia harus juga mengatur alam sedemikian rupa. Manusia harus mengatur alam dengan mengolah tanah sedemikin rupa menjadi lahan subur yang dapat mebumbuhkan benih tanaman dengan baik. Manusia tidak hanya mengambil dari alam, tetapi juga merawat dan mengembalikan yang telah diambil untuk keseimbangan dan keberlanjutan. Demikian juga untuk melindugi diri dari kondisi alam, panas dan dingin, matahari dan hujan, manusia tidak sekadar dengan cara berlindung di bawah pohon atau di goa. Manusia harus harus mengatur alam dengan membangun rumah untuk memenuhi kebutuhan rasa aman dan terlindung. Rumah pun tidak dibangun asal-asalan. Pada kebutuhan tingkat tertentu manusia membangun rumah untuk mendapatkan rasa nyaman, misalnya dengan mempertimbagkan sisi keindahan.
Dengan demikan menjadi cukup jelas bahwa dalam berhubungan dengan dunianya manusia harus mengubah alam dan untuk mengubah alam manusia harus menentukan cara. Cara merupakan sesuatu yang membedakan manusia dari binatang dalam berhubungan dengan dunia. Cara adalah tindakan bagaimana manusia “memenangkan dan mengatur” dunianya untuk memenuhi kebutuhannya, baik kebutuhan untuk menerima maupun untuk memberi, baik kebutuhan dasar sebagai mahkluk biologis, kebutuhan etis, kebutuhan estetik, sampai pada kebutuhan transenden. Sebagaimana kodratnya manusia disebut multi dimensi bukan saja karena kompleks kebutuhannya, tetapi juga karena manusia memiliki beragam kemampuannya, termasuk kecerdasan dalam menciptakan cara, menciptakan sarana atau teknologi yang memudahkan dalam mengubah alam. Dari hasil karya mengubah alam menjadi tampak bahwa manusia tidak hanya memanfaatkan kekayaan alam raya tapi juga mengejawantahkan nllai-nilai persona atau menjadikan alam menjadi lebih manusiawi. Dalam berhubungan dengan dunianya manusia menampakkan diri sebagai persona yang membudaya.
Budaya atau kebudayaan merupakan istilah yang memiliki beragam definisi, tergantung sudut pandang. Pada sudut pandang tertentu istilah budaya didefinisikan sepadan dengan istilah culture dalam bahasa Inggris yang diturunkan dari bahasa Latin, cultura yang berarti menanam atau colere yang berarti mengolah tanah. Dari sudut pandang itu kemudian dikenal istilah budi daya yang berhubungan dengan kegiatan mengolah alam. Sudut pandang yang lain mendefinisikan budaya dari asal kata bahasa Sansekerta, buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari buddhi. Yudi Latif dalam bukunya Pendidikan Yang Berkebudayaan menjelaskan arti buddhi adalah akal batin yang merupakan paduan antara akal dan perasaan untuk menimbang baik dan buruk. Dari mana pun sudut pandang yang dipergunakan, istilah budaya di samping dimengerti sebagai kata kerja yang menunjuk pada aktfitas, juga dimengerti sebagai hasil tindakan baik yang bersifat benda (tangible) maupun yang bersifat tak benda (intangible).
Driyarkara menyebutkan kebudayaan dalam pengertian pasif dan dalam pengertian aktif. Dalam pengertian pasif kebudayaan hasil karya cipta manusia. Karya seni, arsitektur bangunan, dan teknologi merupakan bagian dari wujud kebudayaan pasif. Kebudayaan pasif yang dimaksud Driyarkara merupakan kebudayaan yang kelihatan nyata, dapat disentuh (tangible), Sedangkan kebudayaan aktif adalah cara-cara baik manusia dalam memenuhi kebutuhannya, termasuk di dalamnya kebiasaan manusia secara kolektif memenuhi kebutuhannya untuk berhubungan dengan yang transenden. Kebudayaan aktf termasuk di dalamnya adalah kebiasaan-kebiasaan baik yang tidak dapat disentuh (intangible).
Pendidikan merupakan hasil kebudayaan yang berupa cara untuk menuntun kodrat siswa berkembang sebagai manusia seutuhnya dengan menggunakan hasil kebudayaan yang relevan dan kontekstual, sekaligus pendidikan membentuk kebudayaan. Sejalan dengan itu, Yudi Latif menegaskan, bahwa pendidikan harus memberikan wahana bagi peserta didik untuk mengenali diri, mengembangkan kekhasan potensi pribadinya, sekaligus mengenali dan mengembangan kebudayaan sebagai wahana pembentuk identitas dan karakter bersama.
Dalam pengertian itu, maka pendidikan tidak cukup dimengerti sebagai ruang pembelajaran, melainkan sebagai wahana bagi siswa untuk mengembangkan kemampuan integritasnya sebagai persona yang ada bersama dengan dunianya. Pendidikan tidak mencerabut siswa dari akar budayanya, melainkan mengenali, menggali, dan mengembangkan kebudayaan di sekitarnya sebagai sumber pembelajaran. Pendidikan menuntutun siswa untuk mengenali jatidirinya sebagai persona yang bermakna bagi dirinya dan bagi dunianya.
Siswa Sebagai Persona Yang Menyempurna
Dengan kesadarannya manusia berdiri sebagai pribadi yang merdeka, memilki kemampuan untuk memilih tapi dengan kemerdekaannya pula manusia harus menghadapi kelemahan-kelamannya sendiri. Driyarkara memandang bahwa dalam hubungan antara jiwa dan badan, kesadaran sebagai kemampuan jiwa tidak selalu dapat mengatur badan. Ada saatnya badan justru mengatur kesadaran. Saat seseorang merasakan anggota badannys sakit, saat itu badan mengatur kesadaran. Seseorang berkeinginan mendaki gunung, tetapi tulang kakinya terkilir karena itu keinginan itu tidak dapat terwujud. Kondisi badan menghalangi kesadaran untuk menentukan pilihan lain. Namun bukan hanya pada saat anggota badan sakit saja kesadaran tunduk pada kondisi badan. Pada saat sehat pun kebutuhan yang bersifat badaniah, kebutuhan materiil dapat menggoda kesadaran seseorang.
Kesadaran adalah berkah, namun sekaligus ancaman bagi manusia untuk dapat jatuh pada pemikiran-pemikiran tak terkendali yang oleh Driyarkara disebut sebagai pemikiran rendah. Pemikiran rendah adalah pemikiran yang berisi keinginan yang menjauhkan dari nilai-nilai persona yang menentukan kemuliaan martabat manusia. Pemikiran rendah berupa kebutuhan pada hal yang bersifat materiil yang dipengaruhi oleh kebutuhan badaniah atau dipengaruhi lingkungan. Kebutuhan itu yang dapat mengendalikan manusia untuk memilih sikap atau perbuatan yang menjauhkan dari nilai-nilai persona, yang oleh Ki Hajar Dewantara disebut sebagai adab. Karena itu manusia yang sikap dan tindakannya menjauh dari nilai-nilai persona disebut manusia tidak beradab.
Menurut Driyarkata, secara kodratiah “blueprint” manusia itu sudah ada dan jelas, yaitu menyempurna semakin mendekati nilai-nilai keluhuran martabat persona. Namun tidak dengan sendirinya kesadarannya menggerakkan sikap dan tindakan manusia untuk menyempurna. Menurut Driyarkara jika keadaan itu terjadi, dimana manusia mengikuti kecenderungan pemikiran-pemikiran rendah, manusi telah menyerahkan kedaulatannya, menyerahkan tahtanya sebagai mahkluk mulia dengan membudakkan diri.
Dari pandangan itu dapat dipahami arti pendidikan bagi siswa sebagai persona yang menyempurna. Manusia sebagai persona adalah mahkluk yang sempurna dengan segala karunia kodratiahnya, tetapi sekaligus manusia sesuai kodratnya harus dan dapat menyempurna. Driyarkara menegaskan, andaikata manusia sudah sempurna sepenuhnya maka tidak ada gunanya pendidikan. Pendidikan itu ada karena manusia menyadari dirinya belum sepenuhnya sempurna, karena itu membutuhkan pendidikan sebagai salah satu cara menghantarkan siswa untuk menyempurna.
Pendidikan Yang Memanusiakan
Dari pandangan Ki Hajar Dewantara dan Driyarkara sebagaimana disampaikan di atas menjadi terang benderang bahwa pendidikan itu ada pada hakikatnya sebagai bagian saja dari cara manusia menyempurna. Dalam pandangan Ki Hajar Dewantara pendidikan adalah “tuntunan segala kodrat anak sebagai manusia, maupun sebagai anggota masyarakat”. Dipahami dari perspektif Driyarkara, pandangan KI Hajar Dewantara tersebut memiliki makna yang menegaskan tujuan sejati dari pendidikan.
Tugas sejati pendidikan adalah menuntun siswa untuk menyempurna bersama dengan dunianya. Dengan tujuan itu maka tugas utama guru , dan juga pendidik lain, adalah menuntun siswa. Menuntun tidak saja berarti menggandheng secara fisik sebagaimana seorang ibu mengganding anak kecil yang baru bisa mulai berjalan. Dimensi dari makna “menuntun” oleh Ki Hajar Dewantara diperjelas ke dalam 3 azas kepamongan: ing ngarsa sung tuladha. Ing madya mangun karsa, dan tut wuri handayani. Pengertian azas it mudah dipahami, tetapi penuh tantangan untuk diinternalisasi ke dalam sikap dan tindakan. Tentu banyak guru dan pendidik yang menyadari kedalaman makna asas kepamongan tersebut. Tetapi Driyarkara mengingingatkan kesadaran sering dibelokkan oleh “pikiran rendah” yang menjauhkan seseoang dari nilai-nilai baik. Harus diakui banyak guru yang mengalami hambatan di dalam dirinya ketika harus mewujudkan nilai-nilai dari azas kepamongan tersebut.
Menuntun merupakan konsepsi kedekatan hubungan antar pribadi yang didasarkan atas rasa saling percaya. Saling percaya hanya akan tumbuh ketika setiap persona yang berhubungan dapat menangkap kesungguhan komitmen persona yang dihadapinya. Sedangkan komitmen seseorang itu hanya dapat dikenali dari kesungguhan sikap dan tindakan. Siswa menjadi percaya kepada guru, karena mengenali secara baik sikap gurunya yang tidak pernah meninggalkan dirinya sendirian dalam pembelajaran. Guru yang pamong adalah guru yang menginspirasi, menguatkan dan menjaga siswa dalam pembelajaran seperti seorang ibu yang percaya anaknya yang masih kecil bisa belajar berjalan sendiri sambil tetap secara cermat dan waspada mengamati dan menjaga anaknya yang tertatih-tatih menunjukkan kepercayaan dirinya bisa berjalan sendiri.
Untuk tujuan itu, Driyarkara menyebut pendidikan sebagai hominisasi sekaligus humanisasi. Konsepsi Driyarkara tentang pendidikan menegaskan bahwa pendidikan merupakan perkara fundamental bagi siswa sebagai manusia muda yang harus dan dapat menyempurna menjadi manusia purna. Humanisasi merupakan cara pandang yang mendasari tindakan untuk menjadikan alam raya seisinya menjadi lebih manusiawi. Pendidikan sebagai humanisasi adalah merupakan ekosistem pembelajaran yang terbangun dari kesadaran dan komitmen untuk menghormati kemanusiaan. Dalam kerangka pedagogi pandangan humanisasi dapat dimengerti dari ranah paradigmatik dan ranah didaktik. Ranah paradigmatik adalah visi yang memandang siswa sebagai subyek yang menyempurna bersama dengan dunianya. Dengan visi tersebut sekolah, sebagai institusi pendidikan, membuka ruang dan menyediakan peluang seluas mungkin bagi siswa untuk berhubungan dengan dunia nyata, konkret yang ada bersamanya.
Ranah didaktik, termasuk di dalamnya isi, proses, dan tujuan pendidikan, adalah pendekatan dengan menempatkan siswa sebagai subyek pembelajar. Sekolah, guru dalam mempersiapkan habit pembelajaran memahami secara baik bahwa siswa adalah manusia muda yang sesuai kodratnya sedang mengembangkan kemampuan dirinya yang beragam. Akal, rasa, karsa, dan raga adalah kemampuan kodrat yang berkembang seiring. Pendekatan pembelajaran yang memisahkan atau bahkan mengabaikan salah satu dari kemampuan kodrat tersebut hanya akan menjadikan siswa terasing dengan dirinya sebagai pribadi, sebagai persona. Pendidikan yang hanya bertujuan mengembangkan kemampuan tertentu adalah pendidikan yang merendahkan siswa hanya sebagai komponen dari suatu kebutuhan yang lebih besar.
Bukan dunia yang memerintah siswa, melainkan siswa yang menentukan akan bertindak bagaimana terhadap dunia. Karena itu pendidikan sudah seharusnya menjadi ekosistem pembelajaran yang dapat mendukung pengembangan kedewasaan kesadaran siswa sebagai subyek. Ekosistem pendidikan seperti itu dalam pandangan Driyarkara disebut sebagai hominisasi. Pendidikan sebagai hominisasi adalah pendidikan yang menguatkan kesadaran siswa akan nilai-nilai luhur yang melekat dalam dirinya sebagai subyek yang dapat memutuskan, memerintahkan dirinya akan kemana dan dengan cara bagaimana untuk dapat menjadi bagian dari perkembangan dunia.
Sedangkan dalam pandangan Ki Hajar Dewantara segala cara dan usaha pendidikan harus memberikan kemerdekaan seluas-luasnya supaya pikiran, rasa, dan kehendak berkembang menjadi kesatuan kemampuan untuk “ngerti”, “ngroso”, “lan nglakoni” (memahami, merasa, dan bertindak). Dengan cara itu pendidikan menuntun anak mencapai tujuan menjadi pribadi berkarakter, menjadi pribadi mandiri. Pribadi mandiri adalah manusia yang tegak berdiri di atas kakinya sendiri, mampu memenuhi kebutuhannya sendiri, dan tidak bergantung pada yang lain. Kemandirian termanifestasi dalam sikap percaya diri. Selain tercermin pada kemampuannya memenuhi kebutuhan sendiri, kemandirian juga tercermin dari kemampuannya menjalankan tugas sosial atau tugas sebagai anggota masyarakat untuk menjaga ketertiban.
Humanisasi dan hominisasi dalam kerangka pandangan Ki Hajar Dewantara adalah tuntutan bagi siswa dalam mengembangkan segala kekuatan kodratnya mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya. Konsepsi keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya dapat dipahami secara lebih jelas dari pendagannya tentang tujuan pembelajaran siswa untuk dapat menjadi pribadi yang dapat mewujudkan ketertiban etis dan ketertiban estetis. Ketertiban etis yang dimaksud Ki Hajar Dewantara adalah hal yang berhubungan dengan kehidupan sosial. Dalam hal ini pendidikan bertugas menuntun siswa untuk mendewasakan kesadarannya dan mencerdaskan emosi sehingga dapat merasakan apa yang sedang terjadi di sekitarnya dan dengan demikian dapat menentukan sikap untuk ambil sikap. Dengan kedewasaan kesadaran dan kecerdasan emosinya siswa dapat hidup bersama dengan yang lainnya dengan menghormati norma sosial yang diterima sebagai nilai-nilai kehidupan bersama yang baik. Karena menurut Ki Hajar Dewantara nilai pendidikan atau “tuntutan kodratiah itu tersimpan dalam adat-istiadat masing-masing rakyat yang menjadi bangsa-bangsa dengan sifat peri kehidupan sendiri-sendiri, sifat-sifat dari seluruh usaha untuk mendapat hidup tertib dan damai”.
Sedangkan kemampuan untuk mengambil bagian dalam menjaga ketertiban estetis artinya keterlibatan untuk menciptakan keindahan. Konsepsi itu dalam pandangan Driyarkara adalah kemampuan persona untuk membudaya, yaitu kemampuan mengubah alam dengan mengatur alam, menciptakan karya yang memudahkan dan memberikan rasa keindahan. Untuk mendorong siswa dapat mengembangkan kemampuannya menciptakan ketertiban estetis pendidikan perlu menghidupkan kaidah-kaidah berkesenian di dalam ekosistem pembelajaran. Kaidah-kaidah berkesenian akan menuntut siswa untuk dapat memandang, merasakan, memikirkan fenomena keindahan di sekitarnya. Dengan demikian siswa dapat mengapresiasi setiap hal yang dijumpai. Kemampuan siswa dalam hal estetika akan tercermin dalam setiap karya yang diciptakan, dalam setiap perbuatannya pada alam. Dalam konteks yang lebih luas dengan kemampuan estetik siswa tidak akan mudah terjerumus dalam godaan keinginan untuk mengekploitasi alam sekitarnya.
Menurut Ki Hajar Dewantara estetik merupakan pembelajaran yang pertama-rama harus mendapatkan perhatian dalam pendidikan sebelum memperhatikan kemampuan etis. Kemampuan estetik yang tampak dalam kehalusan rasa perasaan, kecerdasan berfikir, dan kepedulian pada lingkungan merupakan kemampuan yang akan mendorong berkembangnya kemampuan etis.
“Oleh karena itu tiap-tiap sifat keindahan itu sebenarnya tak bukan dan tak lain ialah sifat ketertiban yang menyenangkan rasa kita, maka pendidikan yang bersyarat kesenian itu tidak lebih dan tidak kurang daripada mendidik rasa ketertiban. Jadi pendidikan estetik itu dengan sendirinya lalu menjadi atau menyebabkan adanya pendidikan etis atau moril.”
Pendidikan Kontekstual
Secara harfiah istilah konteks dapat dimengerti sebagai sesuatu yang menyeratai teks. Sedangkan teks dalam pengertian luas adalah uraian verbal tentang suatu gagasan, baik dalam arti tertulis maupun lisan. Pendidikan menjadi bermakna karena memiliki konteks.
Pendidikan kontekstual adalah pendidikan dengan paradigma siswa sebagai subyek pribadi merdeka yang berkembang bersama dengan dunianya. Paradigma itu menegaskan bahwa pendidikan merupakan suatu gagasan yang berangkat dari kehendak untuk menjawab kebutuhan perkembangan siswa sebagai subyek pribadi yang berada bersama dengan dunianya. Dengan demikian maka tugas utama dan pertama pendidikan adalah mengenali fitrah siswa sebagai subyek pribadi yang perkembangannya tidak dapat terpisahkan dari dunia atau lingkungan dimana siswa berada. Tugas kedua dari pendidikan adalah menuntun siswa untuk semakin menyempurna dalam mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.
Konteks pendidikan dalam pandangan Ki Hajar Dewantara adalah keadaan dari dua entitas atau keberadaan dua wujud satuan yang tak terpisah, yaitu keberadaan siswa sebagai subyek pribadi dan dunia (lingkungan) dimana siswa berada. Pengertian tentang keterkaitan antara siswa sebagai subyek dengan duniannya sudah dijelaskan secara ringkas pada bagian sebelumnya. Sedangkan yang dimaksud keadaan menyakup tiga dimensi pengertian. Pertama adalah keadaan siswa sebagaimana kodratnya. Siswa adalah pribadi berbudi pekerti yang memiliki tugas kodratiah untuk semakin menyempurna dalam mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya. Keselamatan dan kebahagiaan siswa dalam kerangka pendidikan adalah keadaan dimana siswa menjadi bagian dari ekosistem pendidikan yang berbudaya, dimana organisme (pelaku pendidikan) di dalamnya secara beradab saling mendorong dan mendukung perkembangan satu sama lainnya.
Kedua adalah keadaan lingkungan alam sekitar yang menyakup baik lingkungan geografis maupun sosial budaya. Ke-Indonesia-an adalah lingkungan alam yang merupakan konteks kesatuan nasional yang sudah semestinya dipahami oleh siswa sebagai warga negara bangsa Indonesia. Namun pemahaman akan kesatuan nasional tidak bisa dilepaskan dari pendidikan kesadaran akan kekhasan lokal daerah dimana siswa berada. Siswa yang dapat memahami lokalitas kedaerahan akan dapat memaknai arti kesatuan dalam kebhinekaan. Dalam kerangka itu maka pendidikan menjadi suatu cara pembelajaran sistemik yang didasarkan pada keadaan lingkungan lokal alam sekitar. Pendidikan di daerah pesisir dikembangkan berdasarkan keadaan dan kebutuhan lokal pesisir.
Ketiga adalah keadaan zaman. Perkembangan zaman adalah keniscayaan. Pendidikan menentukan perkembangan zaman, tapi sekaligus pendidikan ditentukan oleh zaman. Indonesia di zaman Ki Hajar Dewantara, masa awal kemerdekaan, berbeda dengan Indonesia di zaman sekarang. Indonesia zaman sekarang tidak bisa lepas dari tuntutan revolusi 4.0 yang ditandai dengan arus global pemanfaatan teknologi digital. Lepas dari sisi gelap penyalahgunaan yang sangat mungkin terjadi, teknologi menjadi media pembelajaran sekaligus media yang mendekatkan setiap orang degan sumber informasi yang dibutuhkan. Perkembangan teknologi memaksa setiap pelaku pendidikan untuk mendefinisikan ulang berbagai aspek pendidikan yang konvensional. Kelas tidak lagi hanya dimengerti sebagai ruang dengan empat diding tembok persegi. Kegiatan pembelajaran tidak hanya sebatas pengertian siswa duduk bersama mendengarkan guru menyampaikan informasi. Dengan teknologi siswa dapat belajar mandiri dimana saja, kapan saja, dan dari siapa saja.
Pendidikan kontekstual dalam pengertian itu menuntut setiap pemangku kepentingan pendidikan, baik orang tua dan terutama pimpinan sekolah serta guru untuk sekurangnya melakukan dua hal. Pertama setiap pemangku kepentingan pendidikan untuk dengan lapang hati merefleksikan perannya masing-masing untuk dapat menemukan peran keberadaannya masing-masing dalam menuntun perkembangan kodrat (anak) siswa. Kedua, sekolah, dalam hal ini para para pimpinan struktural, mulai dari kepala dinas sampai ke kepala sekolah dengan para wakil manajemennya masing-masing dituntut untuk mampu menentukan strategi yang efektif untuk memastikan pendidikan benar-benar kontekstual baik dalam menjawab kebutuhan perkembangan integritas siswa sebagai pribadi maupun sebagai bagian dari lingkungannya.
Pustaka
Dewantara, Ki Hajar, Dasar-Dasar Pendidikan, dalam Kumpulan Karja Ki Hadjar Dewantara, Jogjakarta, 1962, Percetakan Taman Siswa
Dewantara, Ki Hajar, Kesenian Dalam Pendidikan dalam Kumpulan Karja Ki Hadjar Dewantara, Jogjakarta, 1962, Percetakan Taman Siswa
Driyarkara, Persona Dan Personisasi dalam Percikan Filsafat, Jakarta, 1989, PT. Pembangunan Jakarta
Goleman, Daniel, Emotional Intelegence, Jakarta, 2018, PT. Gramedia Pustaka Utama
Poespowardoyo, Soerjanto dan K. Bertens. Sekitar Manusia, Jakarta, 1978, PT. Gramedia Jakarta
Rogers, Carl Ransom, On Becoming A Person, Yogyakarta, 2012, Pustaka Pelajar