Presisi merupakan model pembelajaran dengan cara pendekatan eksploratif dimana siswa berperan sebagai pelaku utama dalam pembelajaran untuk mendapatkan informasi atau pengetahuan baru dengan melakukan kajian atas fenomena di sekitar.


Bagi sekolah konvensional pada umumnya yang cenderung teknokratik Presisi merupakan cara pendekatan baru dalam pendidikan. Pendekatan yang menempatkan siswa sebagai pelaku utama pendidikan (student centered) berbanding terbalik dengan pendekatan instruktif guru yang menempatkan siswa    

sebagai obyek penerima informasi (teacher centered). 


Dalam Presisi kemampuan didaktik merupakan aspek yang menjadi bagian dari keseluruhan perubahan yang ditawarkan Presisi. Didaktik yang dimaksud adalah kemampuan guru atau orang dewasa dalam menciptakan kondisi yang mampu menggerakkan anak menyusun strategi dan rencana pembelajaran. Secara umum didaktik merupakan aspek dari pedagogi. Model pendidikan Presisi merupakan tawaran baru konsep pedagogik, yaitu gagasan utuh menyeluruh tentang penyelenggaraan pendidikan untuk anak. Presisi tidak hanya menjawab pertanyaan ,bagaimana pendidikan anak sebaiknya diselenggarakan, tetapi juga menjawab pertanyaan apa hakikat dari pendidikan anak sebagai persona yang berada di dunia.   

Presisi: Praksis Model Pendidikan Kontesktual Berbasis Proyek

Ibe Karyanto

Sebuah karikatur pendidikan menggambarkan beberapa binatang; gajah,  kera,  burung, ikan, gajah,  penguin, burung, dan  anjing,  berdiri  berjajar di bawah pohon. Di depan mereka ada seorang laki-laki yang sedang duduk  di belakang meja.  Laki-laki itu berujar, “Supaya seleksi adil, maka semua binatang harus menyelesaikan ujian memanjat pohon.”

Karikatur    tersebut menggambarkan   praktik  pendidikan   yang    menjauhkan   isi pengetahuan dengan konteks  kenyataan sehari-hari.   Alih-alih menguatkan kemampuan melakukan analisa  kritis pendidikan diturunkan makna menjadi kegiatan pembelajaran  yang sifatnya teknis  untuk mengingat kembali isi mata pelajaran dengan mengabaikan keterkaitannya dengan kenyataan sosial, politik, budaya dan kondisi  geografis yang  menjadi konteks  isi pengetahuan. Dengan   cara pembelajaran teknis  di sekolah, siswa dipaksa untuk  mengingat bagian dari  pengetahuan yang terpecah-pecah tanpa  bisa mengetahui relevansinya dengan kehdupannya sehari-hari.

Sebagai contoh,  pembelajaran Sejarah Nasional  sering dikaitkan dengan tujuan  moral seperti menumbuhkan rasa cinta tanah  air, meneladani kepahlawanan para  tokoh sejarah. Tidak ada  yang  salah dengan itu, tapi  pertanyaannya, “bagaimana rasa  cintah  tanah air siswa akan tumbuh hanya dengan menghafal persitiwa, tempat kejadian, dan tokoh-tokoh pelaku sejarah?” Rangkaian pertanyaan yang senada dapat juga diajukan untuk mendapatkan kejelasan relevansi mata  pelajaran yang lain  dengan kenyataan hidup yang  dihadapi siswa  sehari hari.  Terlebih kalau    target capaian   kompetensi  yang diharapkan  dari   mata pelajaran  hanya  diukur berdasarkan kemampuan menghafal rumus, definisi,  atau teori.

Paulo   Freire  menyebut pendidikan yang   isinya   hanya pengajaran untuk  menghafal kebenaran normatif  merupakan praktik  domestikasi. Dalam konteks  sosial  politik  di  Negara Brazil  di  jamannya,  domestikasi merupakan praktik menjinakkan atau  menguasai kesadaran masyarakat  dengan narasi yang   bertujuan melanggengkan kebenaran yang diproduksi oleh kekuasaan, baik kekuasaan politik maupun kekuasaan ekonomi. Penguasa politik berkepntingan melanggengkan  kekuasaannya dengan  menciptakan narasi kebenarannya  sendiri. Demikian juga  penguasa ekonomi, menentukan kebenaran yang  sesuai dengan standar kompetensi yang dibutuhkan  untuk melanggengkan  sistem kekuasaan  ekonomi. Karena  itu  Freire  menyebut domestikasi  sebagai  praktik  tindakan dehumanisasi., karena domestikasi  yang  dipraktikan melalui pendidikan gaya “bank” mengabaikan kodrat kemanusiaan.

Dalam   pandangan  Noam Chomsky, domestikasi  adalah praktik  indoktrinasi karena memaksakan doktrin kebenaran tunggal. Disadari  guru  atau tidak,  tindakan mengajar dengan cara  mentransfer pengetahuan begitu  saja kepada siswa merupakan bentuk  praktik indoktrinasi. Siswa tidak  diberikan ruang dan  kesempatan untuk  mempertanyakan, Ketaatan siswa dalam menerima pengajaran akan  diukur  pada saat  ujian melalui beberapa pertanyaan pilihan. Proses panjang  kegiatan  pembelajaran  satu   semester,  dua   semester  hanya ditentukan beberapa pertanyaan  pilihan   yang  dijawab dalam waktu hanya beberapa  menit.   Hanya   siswa yang mampu menduplikasi informasi yang  diajarkan guru yang  akan dinyatakan lulus.

Praksis Pendidikan Kontekstual

Dalam  suatu   acara Festival  Ide  Karya,  Gloria  Eva Tamariska  siswa kelas   8 SMPN 1 Ngablak,  mempresentasikan  proses pembelajarannya  tentang  tanaman  singkong. Ngablak adalah sebuah desa di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah  yang  pernah dikenal sebagai desa penghasil singkong. Namun  masa kejayaan tanaman singkong di Ngablak  sudah cukup  lama hilang.

Keadaan  itu yang menggerakkan Gloria untuk mengetahui alasan mengapa singkong di Ngablak   semakin  jarang.  Kalau  sudah  berhasil menemukan  faktor  penyebabnya,  Gloria berencana untuk membudidayakan lagi singkong. Harapannya penduduk Desa Ngablak tertarik lagi untuk ikut membudidayakan tanaman singkong.

Rencana pembelajaran  dimulai dengan melakukan kajian.  Gloria mengumpulkan data melalui  wawancara   dengan  dua   nara   sumber  petani   Ngablak   yang   dikenal  menguasai pengetahuan  tentang singkong. Selain  wawancara,  pengetahuan lain  diperoleh dengan cara membaca buku  dan  jurnal  tentang tanaman singkong. Dari data  hasil  wawancara Gloria tahu lebih banyak tentang riwayat tanaman singkong di desanya.

Dalam   kesimpulannya  Gloria   menjelaskan  tentang  dua    alasan utama  mengapa penduduk  Ngablak   meninggalkan  tanaman  singkong. Pertama,  budidaya  singkong membutuhkan  waktu  lama,   paling   cepat  8  bulan   sampai  layak   panen. Kedua,  penduduk Ngablak  memilih  makan  nasi  dan  menanam padi  yang  masa tanamnya lebih  pendek daripada singkong. Gloria juga menemukan data  yang  menunjukkan ada  tiga jenis  singkong yang  selama ini ditanam  di  desanya. Di samping itu  Gloria  mendapatkan banyak pengetahuan tentang singkong, diantarnya  kandungan  nutrisi,   manfaat,  dan  cara  budidaya  maupun pengolahan singkong.

Presentasi Gloria tentang pengalaman pembelajarannya melalui proyek singkong memberikan gambaran bahwa pengetahuan itu tidak tunggal. Proyek,  dalam pendidikan kontekstual, adalah praksis model pembelajaran memecahkan masalah tertentu dari kenyataan sehari-hari  yang   dihadapi  siswa.  Pembelajaran  berbasis  proyek  membawa   siswa  untuk mengenali keluasan spektrum dari suatu  masalah dalam kenyataan hidup sehari-hari.

Kajiannya  tentang  singkong menghantarkan  Gloria  pada  banyak pengetahuan baru. Gloria menjadi tahu  bahwa desanya menyimpan sejarah tentang singkong. Sejarah tidak hanya dimengerti sebagai kronologi  perisitiwa tetapi  juga  memberikan penjelasan tentang hal-hal lain yang  memengaruhi perubahan pilihan  penduduk Ngablak  untuk meninggalkan singkong. Selain belajar tentang sejarah, kajian  tentang singkong juga  mengajarkan pelajaran sosiologi terkait dengan perubahan sikap  sosial, pelajaran tentang biologi  terkait  jenis singkong dan  kandungan nutrisi,  tentang pelajaran geografi terkait  dengan jenis tanah  dan  manfaat tanaman singkong sebagai penahan longsor.

Proyek  Gloria bukan satu-satunya model proyek pembelajaran kontekstual. Produk hasil akhir  dari  proses pembelajaran yang  dbuat  Gloria  berupa sebuah ‘”tesis”, suatu  pernyataan tentang singkong yang  didukung argumentasi yang  dperoleh dari proses kajian yang  terencana. Banyak  siswa lain  yang  memilih  model proyek seperti yang  dipilih  Gloria dengan hasil  akhri berupa  pembuktian pengetahuan  baru.   Tetapi  tidak  sedikit   siswa  yang   mengakhiri proses pembelajarannya  dengan  mengekspresikan  temuan  pengetahuannya  dalam  wujud  karya kreatif.

Dengan   spektrum  yang   luas  maka   proses  pembelajaran  kontekstual membutuhkan intensitas pelibatan seluruh dimens kemampuan siswa, baik kemampuan akal rasional, keterampilan, maupun kemampuan emosional. Dibutuhkan  assesmen yang  terbuka untuk bisa mengenali perkembangan kemampuan siswa  secara menyeluruh. Kolaborasi guru  antar  mata pelajaran selain  bertujuan mengenali perkembangan kemampuan kognitif dari berbagai aspek mata  pelajaran, juga untuk mengenali perkembangan psikomotorik dan kedewasaan emosional. Kreatifitas,  intensitas, komitmen merupakan keutamaan  dasar  yang   dapat dinilai  dari  sikap kesabaran, ketekunan, percaya, diri, keterbukaan, kesanggupan siswa untuk bekerjasama dalam menuntaskan proses pembelajaran.

Pengalaman Sumber Pengetahuan

Pendidikan  kontekstual  adalah pendidikan  yang mengintegrasikan  isi  dan   konteks dengan pendekatan konstruktif.  Isi adalah pengetahuan atau  siswa sebagai individu.  Konteks adalah kenyataan  hidup   sehari-hari yang   dalam  pandangan  Ki Hajar  Dewantara  disebut keadaan, baik  dalam arti  waktu maupun dalam arti  ruang  atau lokus  geografis. Pendidikan kontekstual menempatkan siswa  sebagai subyek yang berhadapan langsung dengan konteks atau   kenyataan  hidup  sehari-hari.  Melalui pengalaman  keterlibatannya langsung  dengan kenyataan, siswa  mengkonstruksi setiap data,   informasi  atau  pengetahuan yang   diperoleh menjadi suatu  bangunan kebenaran pengetahuan baru.

Manusia memperoleh  pengetahuan  untuk  hidup  dari pengalaman  hidupnya sendiri, tetapi  banyak manusia tidak menyadari hal itu. Para cerdik pandai penemu pengetahuan adalah sebagian dari umat manusia yang  secara sadar membangun keakraban dengan pengalamanya, mencatat  setiap data   informasi  yang   dterima dari   pengalamannya kemudian  mensintesa menjadi suatu  pengetahuan. Karena  itu prinsip  dalam pendidikan kontekstual, seperti kutipan yang   disampaikan Albert Einstain,  adalah kesadaran akan  pentingnya pengalaman sebagai sumber utama pengetahuan.

Kebenaran satu  disiplin pengetahuan bukan  sesuatu yang  datang dari  ruang kosong. Pengetahuan adalah informasi tentang fakta yang dperoleh dari pengalaman. Pendidikan kontekstual berpijak pada pandangan bahwa kebenaran pengetahuan adalah kebenaran yang ditemukan melalui pengalaman  dan  bukan  kebenaran pengetahuan yang  dihafalkan. Setiap pengalaman  berhadapan dengan  kenyataan  hidup  dapat  menghasilkan  kebenaran  yang berbeda karena kenyataan hidup  adalah kesatuan semesta yang memiliki  keluasaan spektrum tak  terhingga dengan segala  isinya   yang   beragam dan  terus   bergerak  dinamis. Kebenaran pengetahuan itu, meminjam teori  Einstein, sifatnya relatif.  Relativitas Einstein secara sederhana dapat dijelaskan  dengan  contoh anekdot  berikut, “meletakkankan  telapak  tangan  di  atas kompor menyala selama saru  menit terasa satu  jam,  tapi  duduk  di samping kekasih selama 1 jam terasa hanya satu menit.”

Relativitas kebenaran pengetahuan merupakan asumsi yang  mendasari praksis pembelajaran proyek pilihan siswa. Tanpa  disadari asumsi tersebut memengaruhi pemikiran siswa  saat  melakukan  refleksi   untuk menentukan  pilihan   topik proyek. Dalam  pengertian sederhana,  praksis pembelajaran  kontekstual merupakan ruang  dan kesempatan bagi  siswa menguji asumsi tersebut berdasarkan data  pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman keterlibatan langsung dengan persoalan pilihannya.

Pengembangan Sikap

Pendidikan  kontekstual  selain  bertujuan  meningkatkan  kemampuan  rasional siswa dalam menemukan kebenaran pengetahuan, juga  dalam menemukan nilai-nilai keutamaan. Konsepsi  pendidikan kontestual terisnpirasi dari  cara  kerja alam  semesta yang membentuk jaringan hubungan antar  setiap bagian sebagai kesatuan yang saling  mendukung. Gloria adalah individu  (siswa) yang dalam kerangka pendidikan kontekstual merupakan “isi” yang mengintegrasikan atau terlibat langsung dengan konteks  yaitu  kenyataan hidup  yang menghubungkannya dengan  lngkungan alam  dan dengan individu  lain, anggota masyarakatDesa  Ngablak. Dalam  kerangka itu Gloria memilih  topik singkong karena menemukan makna singkong dalam kaitannya dengan kehidupan warga Desa Ngablak

Pengalaman terlibat langsung sebagai  praksis pendidikan kontekstual menjadi ruang bagi siswa untuk  menemukan data pengetahuan tentang alam, juga untuk  menemukan data tentang  tradsi-budaya  atau  kebiasaan  hidup   manusianya. Keingintahuan  Gloria   tentang singkong menghantarkannya pada  perjumpaan dengan warga  desa  Ngablak.  Perjumpaan Gloria  dengan nara sumber, individu-individu lain  warga Desa  Ngablak adalah konteks  yang memberikan makna  yang berarti kepada Gloria  baik sebagai siswa maupun sebagai indivdu. Perjumpaan dengan warga  desa  menjadi momen, bagian penting  dari  proses pembelajaran tentang sikap keterbukaan warga desa. Interaksi  dengan individu  lain baik dalam wawancara dengan nara   sumber,  presentasi  di depan guru  atau   teman-temannya  sendiri   merupakan bagian dari momentum pembelajaran kontekstual yang menantang.

Keutamaan  sikap   selain  dibutuhkan  untuk   berhadapan dengan  individu  lain,  juga dibutuhkan siswa untuk  dapat menjalankan praksis pendidikan kontestual yang relatih  lama dengan spektrum yang  luas.  Sekalipun banyak pengalaman menunjukkan kegembiraan siswa dalam praksis pembelajaran. Namun di  tengah kegembiraan, proses panjang pembelajaran tidak jarang mengundang rasa  lelah dan  bosan. Seperti halnya siswa dapat mengatasi sendiri kesulitannya ketika  harus mengkaji obyek dan  merangkai data,  demikian juga  pada umumnya siswa dapat mengatasi sendiri  tantangan menghadapi rasa  lelah, bosan dan tidak percaya diri.

******

Praksis   pendidikan kontekstual  dalam   perspektif pandangan   Paulo   Freire  adalah humanisasi, pendidikan yang  memanusiakan sebagai kritik terhadap praktik dehumanisasi yang terjadi dalam pendidikan yang menjinakkan (domestikasi). Dalam  pendidikan kontekstual yang terjadi  adalah praksis memanusiakan pelaku pendidkan dengan menempatkan siswa sebagai subyek   dan    guru    sebagai  partner   yang    setara.  Sebagai  subyek   pembelajar   siswa mengintegrasikan isi dan  konteks  melalui pengalaman keterlibatan langsung dengan kenyataan hidup sehari-hari. Freire menyebutnya sebagai metode hadap masalah (problem posing).

Fokus   perhatian  pada  suatu  hal   sering    membuat  siswa tidak   menyadari  data pengetahuan lain  yang memengaruhi keputusan atau   kesimpulan yang   diambil. Karena itu refleksi  menjadi penting   dalam pendidikan kontekstual. Refleksi membantu siswa mencermati kembali setiap fase pengalaman keterlibatannya.

Guru  berperan besar dalam pendidikan kontekstual. Tentu saja  benar bahwa dalam pendidikan kontekstual yang berpusat pada siswa, peran guru bukan lagi satu-satunya pemiliki kebenaran pengetahuan. Guru memang harus  meninggalkan perannya sebagai pengajar dan menggantikannya dengan peran sebagai nara  sumber, fasilitator, dan couch. Guru sebagai nara sumber  bertindak bertindak menyediakan  data pengetahuan yang  dibutuhkan siswa. Ketika berperan sebagai fasilitator, guru berusaha memudahkan proses pembelajaran siswa,  misalnya dengan mememperkenalkan nara  sumber yang  relevan dengan kebutuhan siswa, menunjukkan sumber-sumber pembelajaran  lain  yang  relevan.  Guru  juga  diharapkan mampu  bertindak sebagai coach yang  bertugas mendampingi, mendorong, dan menguatkan siswa untuk  bisa menjalankan proses pembelajaran bermakna.

Modul Pembelajaran Presisi

Isi materi modul Presisi dirancang berdasarkan kebutuhan untuk menghantarkan fasilitator, guru atau orang dewasa siapa pun yang berniat memahami konsep pedagogik dari Presisi. Secara keseluruhan konsep pelatihan Presisi terdiri dari 7 modul utama yang mencakup 4 aspek utama, yaitu aspek paradigimatik, aspek kognitif, aspek didaktik, dan aspek evaluatif. Aspek paradigmatik terdiri dari modul 1 tentang filosofi  pendidikan, modul 2 tentang paradigma pendidikan kontekstual, dan modul 3 tentang transformasi peran guru. Aspek kognitif hanya modul4 tentang teknologi digital. Aspek didaktik mencakup modul 5 tentang  pembelajaran berbasis proyek dan modul 6 tentang seni sebagai media artikulasi. Modul 7 tentang assesmen merupakan isi dari aspek evaluatif.  

 

Selain 7 modul utama terdapat 2 modul tambahan yang sifatnya penguatan untuk penguatan teknis untuk Kepala Sekolah dan fasilitator. Modul 8 tentang strategi penerapan kebijakan Presisi di sekolah merupakan materi utama yang dieksplorasi dalam pelatihan Kepala Sekolah. Sedangkan modul 9 yang berisi materi pembelajaran teknis fasilitasi diperuntukan khusus bagi fasilitator pendamping sekolah

 

Pandangan Ki Hajar Dewantara dan Driyarkara Tentang Pendidikan

Paradigma Pendidikan Kontekstual

Transformasi Peran Guru

Refleksi Pembelajaran Kontekstual

Pembelajaran Kontekstual Berbasis Projek

Seni dan Budaya sebagai Media Artikulasi Pengetahuan

Evaluasi dan Penilaian Pembelajaran Kontekstual