Sebuah karikatur pendidikan menggambarkan beberapa binatang; gajah, kera, burung, ikan, gajah, penguin, burung, dan anjing, berdiri berjajar di bawah pohon. Di depan mereka ada seorang laki-laki yang sedang duduk di belakang meja. Laki-laki itu berujar, “Supaya seleksi adil, maka semua binatang harus menyelesaikan ujian memanjat pohon.”
Karikatur tersebut menggambarkan praktik pendidikan yang menjauhkan isi pengetahuan dengan konteks kenyataan sehari-hari. Alih-alih menguatkan kemampuan melakukan analisa kritis pendidikan diturunkan makna menjadi kegiatan pembelajaran yang sifatnya teknis untuk mengingat kembali isi mata pelajaran dengan mengabaikan keterkaitannya dengan kenyataan sosial, politik, budaya dan kondisi geografis yang menjadi konteks isi pengetahuan. Dengan cara pembelajaran teknis di sekolah, siswa dipaksa untuk mengingat bagian dari pengetahuan yang terpecah-pecah tanpa bisa mengetahui relevansinya dengan kehdupannya sehari-hari.
Sebagai contoh, pembelajaran Sejarah Nasional sering dikaitkan dengan tujuan moral seperti menumbuhkan rasa cinta tanah air, meneladani kepahlawanan para tokoh sejarah. Tidak ada yang salah dengan itu, tapi pertanyaannya, “bagaimana rasa cintah tanah air siswa akan tumbuh hanya dengan menghafal persitiwa, tempat kejadian, dan tokoh-tokoh pelaku sejarah?” Rangkaian pertanyaan yang senada dapat juga diajukan untuk mendapatkan kejelasan relevansi mata pelajaran yang lain dengan kenyataan hidup yang dihadapi siswa sehari hari. Terlebih kalau target capaian kompetensi yang diharapkan dari mata pelajaran hanya diukur berdasarkan kemampuan menghafal rumus, definisi, atau teori.
Paulo Freire menyebut pendidikan yang isinya hanya pengajaran untuk menghafal kebenaran normatif merupakan praktik domestikasi. Dalam konteks sosial politik di Negara Brazil di jamannya, domestikasi merupakan praktik menjinakkan atau menguasai kesadaran masyarakat dengan narasi yang bertujuan melanggengkan kebenaran yang diproduksi oleh kekuasaan, baik kekuasaan politik maupun kekuasaan ekonomi. Penguasa politik berkepntingan melanggengkan kekuasaannya dengan menciptakan narasi kebenarannya sendiri. Demikian juga penguasa ekonomi, menentukan kebenaran yang sesuai dengan standar kompetensi yang dibutuhkan untuk melanggengkan sistem kekuasaan ekonomi. Karena itu Freire menyebut domestikasi sebagai praktik tindakan dehumanisasi., karena domestikasi yang dipraktikan melalui pendidikan gaya “bank” mengabaikan kodrat kemanusiaan.
Dalam pandangan Noam Chomsky, domestikasi adalah praktik indoktrinasi karena memaksakan doktrin kebenaran tunggal. Disadari guru atau tidak, tindakan mengajar dengan cara mentransfer pengetahuan begitu saja kepada siswa merupakan bentuk praktik indoktrinasi. Siswa tidak diberikan ruang dan kesempatan untuk mempertanyakan, Ketaatan siswa dalam menerima pengajaran akan diukur pada saat ujian melalui beberapa pertanyaan pilihan. Proses panjang kegiatan pembelajaran satu semester, dua semester hanya ditentukan beberapa pertanyaan pilihan yang dijawab dalam waktu hanya beberapa menit. Hanya siswa yang mampu menduplikasi informasi yang diajarkan guru yang akan dinyatakan lulus.
Praksis Pendidikan Kontekstual
Dalam suatu acara Festival Ide Karya, Gloria Eva Tamariska siswa kelas 8 SMPN 1 Ngablak, mempresentasikan proses pembelajarannya tentang tanaman singkong. Ngablak adalah sebuah desa di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah yang pernah dikenal sebagai desa penghasil singkong. Namun masa kejayaan tanaman singkong di Ngablak sudah cukup lama hilang.
Keadaan itu yang menggerakkan Gloria untuk mengetahui alasan mengapa singkong di Ngablak semakin jarang. Kalau sudah berhasil menemukan faktor penyebabnya, Gloria berencana untuk membudidayakan lagi singkong. Harapannya penduduk Desa Ngablak tertarik lagi untuk ikut membudidayakan tanaman singkong.
Rencana pembelajaran dimulai dengan melakukan kajian. Gloria mengumpulkan data melalui wawancara dengan dua nara sumber petani Ngablak yang dikenal menguasai pengetahuan tentang singkong. Selain wawancara, pengetahuan lain diperoleh dengan cara membaca buku dan jurnal tentang tanaman singkong. Dari data hasil wawancara Gloria tahu lebih banyak tentang riwayat tanaman singkong di desanya.
Dalam kesimpulannya Gloria menjelaskan tentang dua alasan utama mengapa penduduk Ngablak meninggalkan tanaman singkong. Pertama, budidaya singkong membutuhkan waktu lama, paling cepat 8 bulan sampai layak panen. Kedua, penduduk Ngablak memilih makan nasi dan menanam padi yang masa tanamnya lebih pendek daripada singkong. Gloria juga menemukan data yang menunjukkan ada tiga jenis singkong yang selama ini ditanam di desanya. Di samping itu Gloria mendapatkan banyak pengetahuan tentang singkong, diantarnya kandungan nutrisi, manfaat, dan cara budidaya maupun pengolahan singkong.
Presentasi Gloria tentang pengalaman pembelajarannya melalui proyek singkong memberikan gambaran bahwa pengetahuan itu tidak tunggal. Proyek, dalam pendidikan kontekstual, adalah praksis model pembelajaran memecahkan masalah tertentu dari kenyataan sehari-hari yang dihadapi siswa. Pembelajaran berbasis proyek membawa siswa untuk mengenali keluasan spektrum dari suatu masalah dalam kenyataan hidup sehari-hari.
Kajiannya tentang singkong menghantarkan Gloria pada banyak pengetahuan baru. Gloria menjadi tahu bahwa desanya menyimpan sejarah tentang singkong. Sejarah tidak hanya dimengerti sebagai kronologi perisitiwa tetapi juga memberikan penjelasan tentang hal-hal lain yang memengaruhi perubahan pilihan penduduk Ngablak untuk meninggalkan singkong. Selain belajar tentang sejarah, kajian tentang singkong juga mengajarkan pelajaran sosiologi terkait dengan perubahan sikap sosial, pelajaran tentang biologi terkait jenis singkong dan kandungan nutrisi, tentang pelajaran geografi terkait dengan jenis tanah dan manfaat tanaman singkong sebagai penahan longsor.
Proyek Gloria bukan satu-satunya model proyek pembelajaran kontekstual. Produk hasil akhir dari proses pembelajaran yang dbuat Gloria berupa sebuah ‘”tesis”, suatu pernyataan tentang singkong yang didukung argumentasi yang dperoleh dari proses kajian yang terencana. Banyak siswa lain yang memilih model proyek seperti yang dipilih Gloria dengan hasil akhri berupa pembuktian pengetahuan baru. Tetapi tidak sedikit siswa yang mengakhiri proses pembelajarannya dengan mengekspresikan temuan pengetahuannya dalam wujud karya kreatif.
Dengan spektrum yang luas maka proses pembelajaran kontekstual membutuhkan intensitas pelibatan seluruh dimens kemampuan siswa, baik kemampuan akal rasional, keterampilan, maupun kemampuan emosional. Dibutuhkan assesmen yang terbuka untuk bisa mengenali perkembangan kemampuan siswa secara menyeluruh. Kolaborasi guru antar mata pelajaran selain bertujuan mengenali perkembangan kemampuan kognitif dari berbagai aspek mata pelajaran, juga untuk mengenali perkembangan psikomotorik dan kedewasaan emosional. Kreatifitas, intensitas, komitmen merupakan keutamaan dasar yang dapat dinilai dari sikap kesabaran, ketekunan, percaya, diri, keterbukaan, kesanggupan siswa untuk bekerjasama dalam menuntaskan proses pembelajaran.